M.Isa / 36413009 - 2ID08
A.
Konvensi Internasional Tentang Hak Cipta
Latar Belakang
Perlindungan dalam hak cipta secara domestik saja tidak cukup dan kurang
bermanfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta, karena suatu upaya untuk
mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini sangat berarti jika perlindungan
itu dijamin disetiap saat dan tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan
itu benar-benar diperoleh. Perlindungan hak cipta ini terdiri atas 2 konvensi
internasional yaitu Berner Convention dan Universal Copyright Convention (UCC).
Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan
masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur
mendapatkan hak.
Sejarah hak cipta
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright
dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya
"hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan
mesin cetak.
Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg,
proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan
biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga,
kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali
meminta perlindungan hukum
terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Sejarah hak cipta di Indonesia
Pada tahun 1958,
Perdana Menteri Djuanda
menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern
agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa
bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia
dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah
meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan
tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern
melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World
Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak
Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 19972.
Sifat-sifat Hak Cipta
- Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
- Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak. Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena :
- Pewarisan;
- Wasiat;
- Hibah;
- Perjanjian tertulis atau Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan
- Jika suatu Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.
- Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.
- Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
- Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.
A.
Pengertian Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak khusus bagi
pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
maupun memberi izin dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan rumusan pasal 1
Undang-Undang Hak Cipta (UHC) Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hak cipta
hanya dapat dimiliki oleh pencipta atau penerima hak disebut sebagai pemegang
hak khususnya yang hanya boleh menggunakan hak cipta dan dilindungi dalam
penggunaan haknya terhadap subjek lain yang mengganggu atau yang menggunakannya
tidak dengan cara yang diperkenankan oleh aturan hukum.
Hak cipta disebut juga hak ekslusif,
bahwa selain pencipta, orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin dari
penciptanya. Hak muncul secara otomatis setelah sesuatu ciptaan dihasilkan. Hak
cipta tidak dapat dilakukan dengan cara penyerahan nyata karena mempunyai sifat
manunggal dengan pencipta dan bersifat tidak berwujud videnya pada penjelasan
Undang-Undang Hak Cipta (UHC) pasal 4 ayat 1 di Indonesia. Sifat manunggal
menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan berarti
pencipta harus ikut beralih ke tangan kreditur.
B.
Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 pada pasal 2 tentang Hak
Cipta, secara tegas menyatakan dalam mengumumkan dan memperbanyak ciptaan serta
memberi izin untuk itu harus memperhatikan pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Pembatasan yang dimaksud sudah
tentu bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau memfungsikan Hak Cipta harus
sesuai dengan tujuannya.
Berdasarkan sifatnya, menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 pada pasal 3 tentang Hak Cipta, memberikan jawaban sebagai berikut, ”Hak
Cipta dianggap sebagai benda bergerak”. Perbedaan benda bergerak dan benda
tidak bergerak adalah perbedaan yang terpenting, menurut PITLO. Oleh karena
itu, erat kaitannya dengan obyek jaminan. Benda-benda bergerak dan benda tidak
bergerak selalu dibedakan dalam lembaga pertanggungan yang digunakan seperti
gadai dan apotik. Jika dilihat dari sudut adatnya sebenarnya perbedaan yang
demikian tidak ditemui tetapi perbedaan menurut hukum adat di Indonesia hanya
ada dua hal yaitu benda tanah dan benda-benda lain yang bukan tanah, menurut
Ter Haar.
C.
Penggunaan Undang-Undang Hak Cipta
Setiap pengguna hak harus memperhatikan terlebih dahulu
apakah hal itu bertentangan atau merugikan kepentingan umum. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 pada pasal 2 tentang Hak Cipta menyatakan Hak
Cipta adalah hak khusus, bahwa selain pencipta orang lain tidak berhak atasnya
selain izin pencipta. Menimbulkan kesan sesungguhnya hak individu itu
dihormati, namun dengan adanya pembatasan bahwa sesunggunya dalam penggunaannya
tetap didasarkan atas kepentingan umum.
Oleh karena itu Indonesia menganut paham individualistis
dalam arti sebenarnya. Hak individu di hormati sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, pembatasan bukan sebenarnya hanya
membatasi hak individu saja, melainkan hanya memberi kebahagian bagi masyarakat
secara keseluruhan. Sebenarnya yang dikehendaki dalam pembatasan Hak Cipta
adalah agar setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara
sewenang-wenang.
B. Konvensi Internasional Tentang
Berner Convention
Konvensi Bern atau Konvensi Berne, merupakan persetujuan internasional
mengenai hak cipta, pertama kali disetujui di Bern, Swiss pada tahun 1886. Konvensi
Bern mengikuti langkah Konvensi Paris pada tahun 1883, yang dengan cara serupa
telah menetapkan kerangka perlindungan internasional atas jenis kekayaan
intelektual lainnya, yaitu paten, merek, dan desain industri. Sebagaimana
Konvensi Paris, Konvensi Bern membentuk suatu badan untuk mengurusi tugas
administratif. Pada tahun 1893, kedua badan tersebut bergabung menjadi Biro
Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual (dikenal dengan
singkatan bahasa Prancisnya, BIRPI), di Bern.
Pada tahun 1960, BIRPI dipindah
dari Bern ke Jenewa agar lebih dekat ke PBB dan organisasi-organisasi
internasional lain di kota tersebut, dan pada tahun 1967 BIRPI menjadi WIPO,
Organisasi Kekayaan Intelektual Internasional, yang sejak 1974 merupakan
organisasi di bawah PBB. Konvensi
Bern mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak cipta dari
karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut menandatanganinya
(yaitu negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern), seolah-olah mereka adalah
warga negaranya sendiri. Artinya, misalnya, undang-undang hak cipta Prancis
berlaku untuk segala sesuatu yang diterbitkan atau dipertunjukkan di Prancis,
tak peduli di mana benda atau barang itu pertama kali diciptakan.
Namun demikian, sekadar memiliki
persetujuan tentang perlakuan yang sama tidak akan banyak gunanya apabila
undang-undang hak cipta di negara-negara anggotanya sangat berbeda satu dengan
yang lainnya, karena hal itu dapat membuat seluruh perjanjian itu sia-sia. Apa
gunanya persetujuan ini apabila buku dari seorang pengarang di sebuah negara
yang memiliki perlindungan yang baik diterbitkan di sebuah negara yang
perlindungannya buruk atau malah sama sekali tidak ada? Karena itu, Konvensi
Bern bukanlah sekadar persetujuan tentang bagaimana hak cipta harus diatur di
antara negara-negara anggotanya melainkan, yang lebih penting lagi, Konvensi
ini menetapkan serangkaian tolok ukur minimum yang harus dipenuhi oleh
undang-undang hak cipta dari masing-masing negara. Hak cipta di bawah
Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak membutuhkan pendaftaran secara
eksplisit.
Konvensi Bern menyatakan bahwa semua
karya, kecualiberupa fotografi dan sinematografi, akan dilindungi
sekurang-kurangnya selama50 tahun setelah si pembuatnya meninggal dunia, namun
masing-masing negaraanggotanya bebas untuk memberikan perlindungan untuk jangka
waktu yang lebihlama, seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan Petunjuk
untukmengharmonisasikan syarat-syarat perlindungan hak cipta tahun 1993.
Untukfotografi, Konvensi Bern menetapkan batas mininum perlindungan selama 25
tahunsejak tahun foto itu dibuat, dan untuk sinematografi batas minimumnya
adalah 50tahun setelah pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun setelah
pembuatannyaapabila film itu tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50 tahun
sejakpembuatannya.
Konvensi Bern direvisi di Paris pada
tahun 1896 dan diBerlin pada tahun 1908, diselesaikan di Bern pada tahun 1914,
direvisi di Romapada tahun 1928, di Brussels pada tahun 1948, di Stockholm pada
tahun 1967 dandi Paris pada tahun 1971, dan diubah pada tahun 1979.Pada Januari
2006, terdapat 160 negara anggotaKonvensi Bern. Sebuah daftar lengkap yang
berisi para peserta konvensi initersedia, disusun menurut nama negara atau
disusun menurut tanggalpemberlakuannya di negara
masing-masing.Keikutsertaansuatu negara sebagai anggota Konvensi Bern memuat
tiga prinsip dasar, yangmenimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam
perundang-undangannasionalnya di bidang hak cipta, yaitu:
a. Prinsip national
treatment
Prinsip national
treatment
• Ciptaan yang
berasal dari salah satu negara peserta perjanjian harus mendapatperlindungan
hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan seorangpencipta warga
negara sendiri
b. Prinsip automatic
protection
Prinsip automatic
protection
• Pemberian
perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat
apapun (no conditional upon compliance with any formality)
c. Prinsip independence
of protection
Prinsipindependenceof
protection
•
Bentukperlindungan hukum hak cipta diberikan tanpa harus bergantung kepada
pengaturanperlindungan hukum Negara asal pencipta
Konvensi bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer (karya
tulis) dan artistic, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 Septemver 1986, dan
telah beberapa kali mengalami revisi serta pentempurnaan-pentempurnaan. Revisi
pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin
pada tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Bern pada tanggal
24 Maret 1914. Selanjutnya secara berturut-turut direvisi di Roma tanggal 2
juni 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm pada tanggal
14 Juni 1967 dan yang paling baru di Paris pada tanggal 24 Juni 1971. Anggota
konvensi ini berjumlah 45 Negara. Rumusan hak cipta menutut konvensi Bern
adalah sama seperti apa yang dirimuskan oleh Auteurswet 1912.
Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah
karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah
dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang
terpenting dalam konvensi bern adalah mengenai perlindungan hak cipta yang
diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan diberikan
pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang
diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa sipencipta yang tergabung dalam
negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan
berkerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari
negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya
terhadap warga negaranya sendiri.
Pengecualian diberikan kepada negara berkembang (reserve).
Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang melakukan ratifikasi dari
protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang
semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, sosial, atau budaya.
C. Konvensi Internasional Tentang
Universal Copyright Convention (UCC)
Universal Copyright Convention mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955.
Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan
orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti bahwa secara internasional hak cipta
terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau orang-orang
pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian salah satu dari tujuan perlindungan
hak cipta tercapai.
Dalam
hal ini kepentingan negara-negara berkembang di perhatikan dengan memberikan
batasan-batasan tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan
diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan.
Konvensi
bern menganut dasar falsafah eropa yang mengaggap hak cipta sebagai hak alamiah
dari pada si pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang
memberikan hak monopoli.
Universal Copyright Convention mencoba untuk mempertemukan
antara falsafah eropa dan amerika yang memandang hak monopoli yang diberikan
kepada si pencipta diupayakan untuk memperhatikan kepentingan umum. Universal
Copyright Convention mengganggap hak cipta ditimbulkan karena adanya ketentuan
yang memberikan hak kepada pencipta, sehingga ruang lingkup dan pengertian hak
mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak
tersebut.
D. Contoh Kasus Konversi Internasional Tentang Hak Cipta
Android -
Terus Mendunia atau Jelang Keruntuhannya?
Kabar
tentang Android pada beberapa minggu terakhir ini cukup mengisi hampir separuh
dari dunia smartphone global. Meski Apple tercatat sebagai vendor nomor satu
dengan jumlah unit yang terjual namun Android telah menjadi OS nomor satu di
Amerika dan sebagian besar negara di seluruh dunia. Tidak mengherankan
bagaimana Android bisa mendominasi pasar smartphone. Ini tak lain karena posisi
Android sebagai open-source platform, gratis dan digunakan oleh lebih dari satu
produsen termasuk HTC, Samsung, Acer, Sony Ericsson, LG, Motorola dan masih
banyak lagi. Cukup mengagetkan adalah ketika pada Juni lalu Google mengumumkan
bahwa rata-rata aktivasi
Android device per hari mencapai setengah juta unit. Perhitungan itu
juga termasuk aktivasi tablet Android. Tidak saja telah menjadi fenomena yang
luar biasa namun juga mengindikasikan bahwa smartphone telah menempati posisi
penting di kehidupan masyarakat moderen.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Android bukan saja populer karena prestasinya. Ini terkait dengan berbagai paten yang diduga dilanggar oleh OS milik Google itu. HTC beberapa saat lalu dikabarkan harus membayar royalti pada Microsoft sebesar $5 untuk tiap Android device yang terjual. Buntut dari kasus itu CEO Microsoft Steve Ballmer pada Oktober 2010 mengatakan bahwa Android bukanlah OS gratis karena pada kenyataannya harus membayar royalti pada pemilik paten. Dan yang terjadi bulan lalu juga tak kalah merisaukan. Samsung diwajibkan membayar Microsoft sebesar $15 untuk setiap Samsung Android device yang tejual. Bukan saja Microsoft, karena publik kini tahu bahwa Apple dan Oracle juga tengah gencar memburu Android sampai meja pengadilan karena dianggap menggunakan hak cipta mereka tanpa ijin.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Android bukan saja populer karena prestasinya. Ini terkait dengan berbagai paten yang diduga dilanggar oleh OS milik Google itu. HTC beberapa saat lalu dikabarkan harus membayar royalti pada Microsoft sebesar $5 untuk tiap Android device yang terjual. Buntut dari kasus itu CEO Microsoft Steve Ballmer pada Oktober 2010 mengatakan bahwa Android bukanlah OS gratis karena pada kenyataannya harus membayar royalti pada pemilik paten. Dan yang terjadi bulan lalu juga tak kalah merisaukan. Samsung diwajibkan membayar Microsoft sebesar $15 untuk setiap Samsung Android device yang tejual. Bukan saja Microsoft, karena publik kini tahu bahwa Apple dan Oracle juga tengah gencar memburu Android sampai meja pengadilan karena dianggap menggunakan hak cipta mereka tanpa ijin.
Menanggapi semua hal itu Google tidak banyak berkomentar. Namun dalam blog resmi minggu lalu, Senior Vice President and Chief Legal Officer of Google, David Drummond, menulis bahwa Microsoft, Apple, Oracle dan perusahaan lain dengna sengaja bekerja sama untuk menjegal langkah Android dengan cara membuat dakwaan palsu tentang paten.
“Sebuah
smartphone kemungkinan memiliki 250.000 paten di dalamnya dan pesaing kami
berusaha menarik pajak tentang paten yang diragukan sebagai milik mereka itu
sehingga Android devices akan menjadi barang mahal. Mereka berusaja keras
agar produsen menjual Android devices dengan harga mahal. Mereka tidak
berkompetisi dengan cara menciptakan fitur baru tapi malah justru melalui
ligitasi.”
- David Drummond, Google’s Senior Vice President and Chief Legal Officer - |
Kasus
ini memang semakin panjang dan barangkali Anda bukanlah satu-satunya orang yang
dibuat bingung. Untuk itu perlu dilihat kembali ke masa beberapa tahun lalu
sebelum Android mendunia seperti sekarang.
Android, Inc. didirikan oleh Andy
Rubin, Rich Milner, Nick Sears dan Chris White pada tahun 2003. Pada sebuah
kesempatan wawancara dengan Newsweek Rubin mengatakan bahwa ada kemungkinan besar
untuk menciptakan mobile device yang lebih pandai sehingga mampu mengetahui
lokasi di pengguna dan apa yang dia inginkan. Namun perusahaan yang ia pimpin
tidak membuat banyak hal tentang apa yang telah ia bicarakan itu. Pada saat itu
Android Inc. hanya mengerjakan software untuk ponsel. Pada Agustus 2005 Google
membeli Android Inc. dan kemudian otomatis membiayai semua kegiatan Android.
Rubin menjadi pemimpin tim untuk mengembangkan Android dengan mengandalkan
kekuatan pada Linux Kernel yang kemudian menghasilkan sebuah Android device
pertama di bulan September 2008; HTC Dream 1. Namun karena adanya aspek Linux
Kernel yang cukup besar maka hal itu ditengarai akan membawa kesulitan pada
Google dan Android di masa mendatang. Linux Kernel merupakan sistem operasi
kernel yang juga adalah komponen utama pada kebanyak OS komputer dan pertama
kali dirilis pada 1991. Dan merupakan contoh penting dari software open-source
dan gratis (FOSS). Sekarang Microsoft mengatakan bahwa OS yang berbasis Linux
(seperti Android) merupakan OS yang melanggar hak cipta milik mereka. Menurut
sebuah laporan yang dibuat Fortune di tahun 2007, CEO Microsoft Steve Ballmer
mengatakan bahwa alasan utama software gratisan memiliki kualitas yang sangat
tinggi karena software tersebut menggunakan lebih dari 200 paten milik
Micorsoft tanpa ijin.